Rabu, 29 Desember 2010

MAKALAH SINDROM ELLISON ZOHLINGER

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom dalam ilmu kedokteran dan psikologi, adalah kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda, simtoma, fenomena, atau karakter yang sering muncul bersamaan. Kumpulan ini dapat meyakinkan dokter dalam menegakkan diagnosa. Istilah sindrom dapat digunakan hanya untuk menggambarkan berbagai karakter dan gejala, bukan diagnosa. Namun kadang-kadang, beberapa sindrom dijadikan nama penyakit, seperti Sindrom Down.
Kata sindrom berasal dari bahasa Yunani yang berarti "berlari bersama", seperti yang terjadi pada kumpulan tanda tersebut. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk kumpulan tanda klinik yang masih belum diketahui penyebab. Banyak sindrom yang dinamakan sesuai dengan dokter yang dianggap menemukan tanda-tanda itu pertama kali. Selain itu dapat juga diambil dari nama lokasi, sejarah, dan lainnya.
Salah satunya adalah sindrom Ellison-Zohlinger. Sindrom Ellison-Zohlinger adalah Suatu kondisi langka/jarang yang memiliki ciri tukak lambung (peptic ulcers) yang sulit disembuhkan (refractory) dengan terapi medis konvensional.
Sindrom Zollinger-Ellison termasuk kasus yang jarang. Di Amerika Serikat, kurang dari 1% borok di usus 12 jari (duodenum) dihasilkan dari sindrom Zollinger-Ellison. Penyakit ini bisa terjadi kapan saja, namun usia rata-rata diagnosis adalah 50 tahun.
Terapi untuk sindrom Zollinger-Ellison sebaian besar terdiri dari obat-obatan untuk mengurangi asam dan menyembuhkan bisul. Operasi untuk mengangkat tumor mungkin menjadi opsi untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
ZES adalah suatukondisi langka/jarang yang memiliki ciri tukak lambung (peptic ulcers) yang sulit disembuhkan (refractory) dengan terapi medis konvensional.1
Sindrom Zollinger-Ellison adalah kondisi kompleks di mana terdapat satu atau lebih bentuk tumor di pankreas atau di bagian atas usus 12 jari (duodenum). Tumor-tumor ini menghasilkan hormon dalam jumlah besar yang menyebabkan produksi asam yang lerlebihan pada lambung. Asam yang berlebihan ini akan menuntun pada terjadinya bisul di perut.
Sindrom Zollinger-Ellison termasuk kasus yang jarang. Di Amerika Serikat, kurang dari 1% borok di usus 12 jari (duodenum) dihasilkan dari sindrom Zollinger-Ellison. Penyakit ini bisa terjadi kapan saja, namun usia rata-rata diagnosis adalah 50 tahun. Terapi untuk sindrom Zollinger-Ellison sebaian besar terdiri dari obat-obatan untuk mengurangi asam dan menyembuhkan bisul. Operasi untuk mengangkat tumor mungkin menjadi opsi untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison.2

B. Gejala
Terapi untuk sindrom Zollinger-Ellison sebaian besar terdiri dari obat-obatan untuk mengurangi asam dan menyembuhkan bisul. Operasi untuk mengangkat tumor mungkin menjadi opsi untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison.1
Sindrom Zollinger-Ellison menyebabkan tanda-tanda dan gejala-gejala serupa dengan mereka yang menderita bisul di perut, antara lain:
• Terbakar, nyeri, rasa sakit atau tidak nyaman di perut bagian atas
• Diare
• Rasa panas terbakar (heartburn)
• Mual dan muntah
• Merasa lemah
• Pendarahan di sistem saluran cerna
• Penurunan berat badan

C. Etiologi
Penyebab pasti sindrom Zollinger-Ellison masih tidak diketahui. Namun rangkaian kejadian pada sindrom Zollinger-Ellison jelas. Sindrom dimulai saat tumor (gastrinoma) atau bentuk tumor berada di pankreas atau usus 12 jari.
Pankreas terletak di belakang dan bawah perut . Organ ini memproduksi enzim yang penting untuk mencerna makanan. Pankreas juga menghasilkan sejumlah hormon, seperti insulin dan glucagon, yang berfungsi mengatur kadar gula darah, demikian juga hormon perut gastrin, yang mengendalikan produksi asam lambung. Usus 12 jari, bagian lebih atas dari usus kecil, dimulai di bagian bawah akhir perut. Pada duodenum, produksi dari pankreas, hati dan empedu akan bercampur. Saat inilah pencernaan makanan mencapai puncaknya.3
Tumor yang terjadi pada sindrom Zollinger-Ellison akan membuat sel mengeluarkan enzim gastrin dalam jumlah amat banyak, yang akan menyebabkan lambung memproduksi terlalu banyak asam. Asam yang berlebihan ini menuntun pada terjadinya bisul perut dan kadang-kadang diare.
Selain menyebabkan produksi asam berlebih, tumor mungkin akan bersifat ganas (malignan). Tumor itu sendiri tumbuh lambat, namun kanker (ganas) dapat menyebar ke mana saja, umumnya di dekat kelenjar getah bening atau hati.

D. Faktor Resiko
Sindrom Zollinger-Ellison bisa dikaitkan dengan penyakit lain yang disebut multiple endocrine neoplasia, type 1 (MEN 1). Orang dengan MEN 1 memiliki tumor majemuk di sistem endokrin selain tumor pankreas. Pasien ini juga memiliki tumor di kelenjar paratiroid dan mungkin juga di kelenjar pituitari. Sekira 25% orang yang mengidap gastrinoma memiliki sejumlah tumor tersebut sebagai bagian MEN 1.3


E. Diagnosis
Selain mengkaji sejarah medis pasien dan menanyakan sejumlah tanda dan gejala, dokter kemungkinan akan melakukan sejumlah prosedur diagnosis berikut ini:
1) Tes darah. Sampel darah pasien dianalisis di laboratorium untuk melihat apakah terjadi peningkatan level gastrin di dalam darah. Peningkatan level gastrin bisa mengindikasikan tumor di pancreas atau duodenum. Tes ini harus dilakukan dalam kondisi perut kosong, jadi sebelumnya harus berpuasa. Pasien juga diminta menghentikan konsumsi obat pengurang asam untuk mendapatkan pengukuran yang akurat terhadap level gastrin. Selain itu karena level gastrin berfluktuasi, tes ini tampaknya harsu diulang minimal tiga kali. Peningkatan gastrin juga bisa terjadi jika perut tidak menghasilkan asam. Hal ini bisa terjadi jika pasien mengalami peradangan kronis di lambung atau sebelumnya mengalami operasi di perut. Kondisi ini kerap dikelirukan dengan Zollinger-Ellison sebab level gastrin bisa amat tinggi. Dokter akan melakukan uji keasaman perut untuk mengklarifikasi kondisi mana yang meningkatkan level gastrin. Jika lambung tiidak asam, maka itu bukanlah Zollinger-Ellison. Jika lambung memproduksi asam, dokter akan melakukan tes simulasi sekretin. Untuk tes ini, dokter akan mengukur kadar gastrin dan kemudian menginjeksi pasien dengan hormone sekretin. Pengukuran kadar gastrin yang lain kemudian dilakukan. Jika pasien menderita Zollinger-Ellison, level gastrin akan lebih meningkat lagi.
2) Upper gastrointestinal endoscopy. Setelah diberi obat penenang, dokter akan menyisipkan instrumen yang tipis namun fleksibel dengan cahaya dan kamera video (endoskopi) di bawah kerongkongan dank e dalam perut dan duodenum untuk mengamati bisul. Melalui endoskopi, dokter akan mengambil sampel jaringan (biopsy) dari duodenum untuk uji laboratorium guna membantu mendeteksi hadirnya tumor yang memproduksi gastrin. Untuk persiapan tes ini, dokter meminta pasien tidak mengonsumsi apapun setelah malam hari sebelum tes.
3) Imaging studies. Dalam upaya menentukan letak pasti tumor, dokter akan menggunakan teknik pencitraan seperti scan nuklir, yang menggunakan penjejak radioaktif untuk membantu menemukan lokasi tumor, yaitu computerized tomography (CT), ultrasound imaging, atau magnetic resonance imaging (MRI).
4) Endoscopic ultrasound. Pada prosedur ini, dokter memeriksa lambung dan duodenum dengan endoskopi yang disesuaikan dengan penyelidikan ultrasound. Alat ini mampu mendekatkan gambar dari system saluran cerna, membuatnya lebih mudah untuk mengenali titik tumor. Dimungkinkan juga untuk mengambil sampel jaringan melalui endoskopi. Pasien harus berpuasa setelah lewat tengah malam sebelum tes dilakukan, dan akan diberi obat penenang selama tes.2

F. Pemeriksaan Laboratorium
1) Fasting serum gastrin merupakan tes screening tunggal yang terbaik.
2) Tes gastric acid secretoryGastric pH kurang dari 2.0 pada volume lambung (a large gastric volume), yakni di atas 140 mL lebih dari 1 jam pada pasien tanpa prior gastric acid-reducing surgery merupakan pertanda suggestive ZES.
3) Tes provocativeTes secretin stimulation menggunakan 2-U/kg bolus secretin secara intravena setelah puasa semalam (overnight fast), dan kadar serum gastrin diukur pada menit ke: 0, 2, 5, 10, dan 15. Peningkatan serum gastrin lebih dari 200 pg/mL merupakan diagnostik pasti ZES.
4) Kenaikan kadar kalsium serum merupakan langkah awal untuk penelitian keberadaan MEN 1 syndrome.3

G. Terapi
1) Obat-obatan Golongan Proton pump inhibitors. Kerjanya adalah menghambat sekresi asam lambung melalui rintangan (inhibition) sistem enzim H+/K+/ATP-ase di sel-sel parietal gaster. Juga mengurangi hipersekresi asam lambung. Contohnya: Lansoprazole, omeprazole, pantoprazole, esomeprazole magnesium, rabeprazole sodium.
2) Obat-obatan Golongan Somatostatin Analogues . Kerjanya adalah menghambat sekresi GH, dengan demikian memicu penurunan sekresi chloride, sodium absorption, dan penurunan kehilangan cairan. Golongan ini digunakan untuk merawat secretory diarrhea pada Zollinger-Ellison syndrome (ZES). Misalnya: Octreotide.4

H. Komplikasi
1. Perforasi perut (abdominal perforation) secondary to ulceration (biasanya duodenum dan jejunum).
2. Penyempitan kerongkongan (esophageal stricture), dengan reflux.
3. Obstruction
4. Perdarahan saluran pencernaan (gastrointestinal bleeding).
5. Kanker lambung (gastric carcinoids), terutama pada pasien dengan MEN 1.
Dengan PPIs (Proton pump inhibitors) yang efektif pada sebagian besar pasien, maka komplikasi yang berhubungan dengan asam (acid-related complications) kini telah berkurang.5
Diagnosis Banding
1) Diarrhea
2) Esophagitis
3) Gastroesophageal Reflux
4) Gastrointestinal Bleeding
5) Gastrointestinal Neoplasms
6) Helicobacter Pylori Infection
7) Malabsorption Syndromes
8) Multiple Endocrine Neoplasia
9) Peptic Ulcer Disease
Problem lainnya yang perlu dipertimbangkan
1) Hypochlorhydria karena chronic atrophic gastritis
2) Penggunaan PPIs yang lama
3) Gastric outlet obstruction






BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindrom Ellison-Zohlinger adalah Suatu kondisi langka/jarang yang memiliki ciri tukak lambung (peptic ulcers) yang sulit disembuhkan (refractory) dengan terapi medis konvensional. Terapi untuk sindrom Zollinger-Ellison sebaian besar terdiri dari obat-obatan untuk mengurangi asam dan menyembuhkan bisul. Operasi untuk mengangkat tumor mungkin menjadi opsi untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison. Sindrom Zollinger-Ellison bisa dikaitkan dengan penyakit lain yang disebut multiple endocrine neoplasia, type 1 (MEN 1). Orang dengan MEN 1 memiliki tumor majemuk di sistem endokrin selain tumor pankreas.


















DAFTAR PUSTAKA

1. Kahn, SA: Zollinger-Ellison Syndrome. Emedicine September 18, 2006. Cited from: http://www.emedicine.com/ped/TOPIC2472.HTM
2. Roy PK: Zollinger-Ellison Syndrome. Emedicine July 5, 2006. Cited from: http://www.emedicine.com/med/TOPIC2437.HTM
3. Alexakis N, Neoptolemos JP. Pancreatic neuroendocrine tumours. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2008;22(1):183-205.
4. Mortellaro VE, Hochwald SN, McGuigan JE, et al. Long-term results of a selective surgical approach to management of Zollinger-Ellison syndrome in patients with MEN-1. Am Surg. Aug 2009;75(8):730-3.
5. Azimuddin K, Chamberlain RS. The surgical management of pancreatic neuroendocrine tumors. Surg Clin North Am. Jun 2001;81(3):511-25.




MAKALAH KESEIMBANGAN AIR DAN GARAM

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Semua sel dan jaringan tubuh manusia terendam dalam cairan yang memiliki komposisi kimia serupa dengan air laut. Hal ini mencerminkan awal evolusi manusia. Agar fungsi sel dapat berlangsung normal, komposisi cairan ini harus relative konstan. Keseimbangan yang dinamis atau homeostasis dari air, elektroloit, dan keseimbangan asam-basa dalam tubuh dipelihara melalui mekanisme faal kompleks yang melibatkan banyak system tubuh lain.
Gangguan volume cairan dalah suatu keadaan ketika individu beresiko mengalami penurunan, peningkatan, atau perpindahan cepat dari satu kelainan cairan intravaskuler, interstisial dan intraseluler. Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami kelebihan cairan intraseluler atau interstisial. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan cairan sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Anatomi dan Fisiologi Cairan dan Elektrolit
1. Pengertian
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh.
Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air ( pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya; jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.1
Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berada di dalam sel di seluruh tubuh, sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.5
(http://lensaaskep.blog.com/kebutuhan-cairan-dan-elektrolit.html)
2. Proporsi Cairan Tubuh
Persentase dari total cairan tubuh bervariasi sesuai dengan individu dan tergantung beberapa hal antara lain :
a. Umur
b. Kondisi lemak tubuh
c. Sex
Perhatikan uraian berikut ini :
1) Bayi (baru lahir) 75 %
2) Dewasa :
a) Pria (20-40 tahun) 60 %
b) Wanita (20-40 tahun) 50 %
3) Usia Lanjut 45-50 %
Pada orang dewasa kira-kira 40 % berat badannya atau 2/3 dari TBW-nya berada di dalam sel (cairan intraseluler/ICF), sisanya atau 1/3 dari TBW atau 20 % dari berat badannya berada di luar sel (ekstraseluler) yaig terbagi dalam 15 % cairan interstitial, 5 % cairan intavaskuler dan 1-2 % transeluler.
3. Elektrolit Utama Tubuh Manusia
Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan nonelektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai dalam larutan dan tidak bermuatan listrik, seperti : protein, urea, glukosa, oksigen, karbon dioksida dan asam-asam organik. Sedangkan elektrolit tubuh mencakup natrium (Na+), kalium (K+), Kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), Klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat (HPO42-), sulfat (SO42-).
Konsentrasi elektrolit dalam cairan tubuh bervariasi pada satu bagian dengan bagian yang lainnya, tetapi meskipun konsenterasi ion pada tiap-tiap bagian berbeda, hukum netralitas listrik menyatakan bahwa jumlah muatan-muatan negatif harus sama dengan jumlah muatan-muatan positif.2
Komposisi dari elektrolit-elektrolit tubuh baik pada intraseluler maupun pada plasma terinci dalam tabel di bawah ini :
Plasma Interstitial
a. Kation :
Natrium (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg ++)
b. Anion :
Klorida (Cl-), Bikarbonat (HCO3-), Fosfat (HPO42-), Sulfat (SO42-), Protein
4. Perpindahan Cairan dan Elektrolit Tubuh
Perpindahan cairan dan elektrolit tubuh terjadi dalam tiga fase yaitu :
a.Fase I :
Plasma darah pindah dari seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi, dan nutrisi dan oksigen diambil dari paru-paru dan tractus gastrointestinal.
b.Fase II :
Cairan interstitial dengan komponennya pindah dari darah kapiler dan sel
c.Fase III :
Cairan dan substansi yang ada di dalamnya berpindah dari cairan interstitial masuk ke dalam sel. Pembuluh darah kapiler dan membran sel yang merupakan membran semipermiabel mampu memfilter tidak semua substansi dan komponen dalam cairan tubuh ikut berpindah. Metode perpindahan dari cairan dan elektrolit tubuh dengan cara :
1) Diffusi
2) Filtrasi
3) Osmosis
4) Aktif Transport
Difusi dan osmosis adalah mekanisme transportasi pasif. Hampir semua zat berpindah dengan mekanisme transportasi pasif. Diffusi sederhana adalah perpindahan partikel-partikel dalam segala arah melalui larutan atau gas.Beberapa faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya difusi zat terlarut menembus membran kapiler dan sel, yaitu :
a) Permeabilitas membran kapiler dan sel
b) Konsenterasi
c) Potensial listrik
d) Perbedaan tekanan.
Osmosis adalah proses difusi dari air yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi. Difusi air terjadi pada daerah dengan konsentrasi zat terlarut yang rendah ke daerah dengan konsentrasi zat terlarut yang tinggi. Perpindahan zat terlarut melalui sebuah membran sel yang melawan perbedaan konsentrasi dan atau muatan listrik disebut transportasi aktif.
Transportasi aktif berbeda dengan transportasi pasif karena memerlukan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP). Salah satu contonya adalah transportasi pompa kalium dan natrium.
Natrium tidak berperan penting dalam perpindahan air di dalam bagian plasma dan bagian cairan interstisial karena konsentrasi natrium hampir sama pada kedua bagian itu. Distribusi air dalam kedua bagian itu diatur oleh tekanan hidrostatik yang dihasilkan oleh darah kapiler, terutama akibat oleh pemompaan oleh jantung dan tekanan osmotik koloid yang terutama disebabkan oleh albumin serum.
Proses perpindahan cairan dari kapiler ke ruang interstisial disebut ultrafilterisasi. Contoh lain proses filterisasi adalah pada glomerolus ginjal. Meskipun keadaan di atas merupakan proses pertukaran dan pergantian yang terus menerus namun komposisi dan volume cairan relatif stabil, suatu keadaan yang disebut keseimbangan dinamis atau homeostatis.
5. Pengaturan Volume Cairan Tubuh
Di dalam tubuh seorang yang sehat volume cairan tubuh dan komponen kimia dari cairan tubuh selalu berada dalam kondisi dan batas yang nyaman. Dalam kondisi normal intake cairan sesuai dengan kehilangan cairan tubuh yang terjadi. Kondisi sakit dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
Dalam rangka mempertahankan fungsi tubuh maka tubuh akan kehilanagn cairan antara lain melalui proses penguapan ekspirasi, penguapan kulit, ginjal (urine), ekresi pada proses metabolisme.
a. Intake Cairan :
Selama aktifitas dan temperatur yang sedang seorang dewasa minum kira-kira 1500 ml per hari, sedangkan kebutuhan cairan tubuh kira-kira 2500 ml per hari sehingga kekurangan sekitar 1000 ml per hari diperoleh dari makanan, dan oksidasi selama proses metabolisme.
Pengatur utama intake cairan adalah melalui mekanisme haus. Pusat haus dikendalikan berada di otak Sedangkan rangsangan haus berasal dari kondisi dehidrasi intraseluler, sekresi angiotensin II sebagai respon dari penurunan tekanan darah,
perdarahan yang mengakibatkan penurunan volume darah. Perasaan kering di mulut biasanya terjadi bersama dengan sensasi haus walupun kadang terjadi secara sendiri. Sensasi haus akan segera hilang setelah minum sebelum proses absorbsi oleh tractus gastrointestinal.
b. Output Cairan :
Kehilangan caiaran tubuh melalui empat rute (proses) yaitu :
1) Urine :
Proses pembentukan urine oleh ginjal dan ekresi melalui tractus urinarius merupakan proses output cairan tubuh yang utama. Dalam kondisi normal output urine sekitar 1400-1500 ml per 24 jam, atau sekitar 30-50 ml per jam. Pada orang dewasa. Pada orang yang sehat kemungkinan produksi urine bervariasi dalam setiap harinya, bila aktivitas kelenjar keringat meningkat maka produksi urine akan menurun sebagai upaya tetap mempertahankan keseimbangan dalam tubuh.
2) IWL (Invisible Water Loss) :
IWL terjadi melalui paru-paru dan kulit, Melalui kulit dengan mekanisme difusi. Pada orang dewasa normal kehilangan cairan tubuh melalui proses ini adalah berkisar 300-400 mL per hari, tapi bila proses respirasi atau suhu tubuh meningkat maka IWL dapat meningkat.
3) Keringat :
Berkeringat terjadi sebagai respon terhadap kondisi tubuh yang panas, respon ini berasal dari anterior hypotalamus, sedangkan impulsnya ditransfer melalui sumsum tulang belakang yang dirangsang oleh susunan syaraf simpatis pada kulit.
4) Feces :
Pengeluaran air melalui feces berkisar antara 100-200 mL per hari, yang diatur melalui mekanisme reabsorbsi di dalam mukosa usus besar (kolon).
6. Faktor yang Berpengaruh pada Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Faktor-faktor yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
antara lain :
a. Umur :
Kebutuhan intake cairan bervariasi tergantung dari usia, karena usia akan berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat badan. Infant dan anak-anak lebih mudah mengalami gangguan keseimbangan cairan dibanding usia dewasa. Pada usia lanjut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dikarenakan gangguan fungsi ginjal atau jantung.
b. Iklim :
Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan kelembaban udaranya rendah memiliki peningkatan kehilangan cairan tubuh dan elektrolit melalui keringat. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di lingkungan yang panas dapat kehilangan cairan sampai dengan 5 L per hari.
c. Diet :
Diet seseorang berpengaruh terhadap intake cairan dan elektrolit. Ketika intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein dan lemak sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun padahal keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga hal ini akan menyebabkan edema.
d. Stress :
Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan pemecahan glikogen otot. Mekanisme ini dapat meningkatkan natrium dan retensi air sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume darah.
e. Kondisi Sakit :
Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh Misalnya :
1) Trauma seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui IWL.
2) Penyakit ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
3) Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami gangguan pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemampuan untuk memenuhinya secara mandiri.
f. Tindakan Medis :
Banyak tindakan medis yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh seperti : suction, nasogastric tube dan lain-lain.
g. Pengobatan :
Pengobatan seperti pemberian deuretik, laksative dapat berpengaruh pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh.
h. Pembedahan :
Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, dikarenakan kehilangan darah selama pembedahan.3

B. Konsep Dasar Gangguan Volume Cairan
1. HIPOVOLEMIA (Kekurangan Volume Cairan)
a. Pengertian
Kekurangan Volume cairan (FVD) terjadi jika air dan elektrolit hilang pada proporsi yang sama ketika mereka berada pada cairan tubuh normal sehingga rasio elektrolit serum terhadap air tetap sama. (Brunner & suddarth, 2002).
1) Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan ekstraseluler (CES).
2) Hipovolemia adalah penipisan volume cairan ekstraseluler (CES)
3) Hipovolemia adalah kekurangan cairan di dalam bagian-bagian ekstraseluler (CES)
b. Etiologi
Hipovolemia ini terjadi dapat disebabkan karena :
1) Penurunan masukan.
2) Kehilangan cairan yang abnormal melalui : kulit, gastro intestinal, ginjal abnormal, dan lain-lain.
3) Perdarahan.
c. Patofisiologi
Kekurangan volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstraseluler dalam jumlah yang proporsional (isotonik). Kondisi seperti ini disebut juga hipovolemia. Umumnya, gangguan ini diawali dengan kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan interseluler menuju intravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan ekstraseluler. Untuk untuk mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan pemindahan cairan intraseluler.1
Secara umum, defisit volume cairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kehilangan cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan cairan, perdarahan dan pergerakan cairan ke lokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah untuk mengembalikanya ke lokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat). Cairan dapat berpindah dari lokasi intravaskuler menuju lokasi potensial seperti pleura, peritonium, perikardium, atau rongga sendi. Selain itu, kondisi tertentu, seperti terperangkapnya cairan dalam saluran pencernaan, dapat terjadi akibat obstruksi saluran pencernaan.
d. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien dengan hipovolemia antara lain : pusing, kelemahan, keletihan, sinkope, anoreksia, mual, muntah, haus, kekacauan mental, konstipasi, oliguria. Tergantung pada jenis kehilangan cairan hipovolemia dapat disertai dengan ketidak seimbangan asam basa, osmolar atau elektrolit. Penipisan (CES) berat dapat menimbulkan syok hipovolemik.
Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi hipolemia adalah dapat berupa peningkatan rangsang sistem syaraf simpatis (peningkatan frekwensi jantung, inotropik (kontraksi jantung) dan tahanan vaskuler), rasa haus, pelepasan hormone antideuritik (ADH), dan pelepasan aldosteron. Kondisi hipovolemia yang lama dapat menimbulkan gagal ginjal akut.
e. Komplikasi
Akibat lanjut dari kekurangan volume cairan dapat mengakibatkan :
1) Dehidrasi (Ringan, sedang berat).
2) Renjatan hipovolemik.
3) Kejang pada dehidrasi hipertonik.
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan penunjang.
Penurunan tekanan darah (TD), khususnya bila berdiri (hipotensi ortostatik); peningkatan frekwensi jantung (FJ); turgor kulit buruk; lidah kering dan kasar; mata cekung; vena leher kempes; peningkatan suhu dan penurunan berat badan akut. Bayi dan anak - anak : penurunan air mata, depresi fontanel anterior.
Pada pasien syok akan tampak pucat dan diaforetik dengan nadi cepat dan haus; hipotensi terlentang dan oliguria.2

Tabel. 1. Penurunan berat badan sebagai indikator dari kekurangan CES pada orang dewasa dan anak-anak.

Tabel. 2. Pengkajian perubahan pada hipovolemia4
2) Riwayat kesehatan.
3) Evalusi status volume cairan.
4) Kadar Nitrogen Urea dalam darah (BUN) > 25mg/ 100 ml.
5) Peningkatan kadar Hematokrit > 50%.
6) Berat jenis urine > 1,025.
g. Penatalaksanaan Medis
1) Pemulihan volume cairan normal dan koreksi gangguan penyerta asam-basa dan elektrolit.
2) Perbaikan perfusi jaringan pada syok hipovolemik.
3) Rehidrasi oral pada diare pediatrik.
Tindakan berupa hidrasi harus secara berhati-hati dengan cairan intravena sesuai pesanan / order dari medis.Catatan : Rehidrasi pada kecepatan yang berlebihan dapat menyebabkan GJK (gagal ginjal jantung kongestif)
4) Tindakan terhadap penyebab dasar.

2. HIPERVOLEMIA (Kelebihan Volume Cairan)
a. Pengertian
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami kelebihan cairan intraseluler atau interstisial. (Carpenito, 2000). Kelebihan volume cairan mengacu pada perluasan isotonok dari CES yang disebabkan oleh retensi air dan natrium yang abnormal dalam proporsi yang kurang lebih sama dimana mereka secara normal berada dalam CES. Hal ini selalu terjadi sesudah ada peningkatan kandungan natrium tubuh total, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan air tubuh total. (Brunner & Suddarth. 2002).
b. Etiologi
Hipervolemia ini dapat terjadi jika terdapat :
1) Stimulus kronis pada ginjal untuk menahan natrium dan air.
2) Fungsi ginjal abnormal, dengan penurunan ekskresi natrium dan air.
3) Kelebihan pemberian cairan intra vena (IV).
4) Perpindahan cairan interstisial ke plasma.
c. Patofisiologi
Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang seimbang. Karena adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum masih normal. Kelebihan cairan tubuh hampir selalu disebabkan oleh peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan / adanya gangguan mekanisme homeostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan.
d. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien dengan hipervolemia antara lain : sesak nafas, ortopnea. Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi hiperlemia adalah berupa pelepasan Peptida Natriuretik Atrium (PNA), menimbulkan peningkatan filtrasi dan ekskresi natrium dan air oleh ginjal dan penurunan pelepasan aldosteron dan ADH.
Abnormalitas pada homeostatisis elektrolit, keseimbangan asam-basa dan osmolalitas sering menyertai hipervolemia. Hipervolemia dapat menimbulkan gagal jantung dan edema pulmuner, khususnya pada pasien dengan disfungsi kardiovaskuler
e.Komplikasi
Akibat lanjut dari kelebihan volume cairan adalah :
1) Gagal ginjal, akut atau kronik
2) Berhubungan dengan peningkatan preload, penurunan kontraktilitas, dan penurunan curah jantung
3) Infark miokard
4) Gagal jantung kongestif
5) Gagal jantung kiri
6) Penyakit katup
7) Takikardi/aritmia
Berhubungan dengan hipertensi porta, tekanan osmotik koloid plasma rendah, retensi natrium
8) Penyakit hepar : Sirosis, Asites, Kanker
9) Berhubungan dengan kerusakan arus balik vena
10) Varikose vena
11) Penyakit vaskuler perifer
12) Flebitis kronis
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Fisik
Oedema, peningkatan berat badan, peningkatan TD (penurunan TD saat jantung gagal) nadi kuat, asites, krekles (rales). Ronkhi, mengi, distensi vena leher, kulit lembab, takikardia, irama galop
2) Protein rendah
3) Anemia
4) Retensi air yang berlebihan
5) Peningkatan natrium dalam urine
g. Penatalaksanaan Medis
Tujuan terapi adalah mengatasi masalah pencetus dan mengembalikan CES pada normal. Tindakan dapat berupa hal berikut :
1) Pembatasan natrium dan air.
2) Diuretik.
3) Dialisi atau hemofiltrasi arteriovena kontinue : pada gagal ginjal atau kelebihan beban cairan yang mengancam hidup.3
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan
asam-basa adalah paru-paru dengan mengeksresikan ion hidrogen dan CO2 dan system dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.















DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner&Suddarth. (2000). Keperawatan Medical Medah.(Edisi 8). Volume 1. Jakarta :EGC
2. Doenges. ME. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
3. Martin.T. (1998). Standar Keperawatan Pasien : Pasien Standar Care. Jakarta : EGC
4. Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan (Edisi 3). Jakarta : EGC
5. www.google.com.http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/17/implikasikeperawatan-atas-masalah-cairan-tubuh/ . Pukul : 17.11 WIB

MAKALAH INTOKSIKASI CO

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak manusia pertama dapat membuat api, intoksikasi karbon monoksida telah menjadi masalah. Masalah intoksikasi gas ini kian menjadi penting sejalan dengan semakin majunya industrialisasi di suatu negara.
Pada saat ini karbon monoksida merupakan gas beracun yang paling banyak menimbulkan intoksikasi akut serta paling banyak menyebabkan kematian dibandingkan dengan kematian akibat intoksikasi gas-gas lain. Kematian akibat intoksikasi gas CO yang sering terjadi pada sekelompok orang sekaligus, seperti kematian enam orang di dalam sel tahanan akibat gas CO dari generator, kematian beberapa mahasiswa di dalam bis karena gas dari knalpot masuk kebagian belakang bis, kematian beberapa anggota keluarga di dalam kamar tertutup dan lain-lain, memberikan efek yang dramatis biia diberitakan di surat-surat kabar.
Mula-mula disanngka bahwa expose terhadap CO dengan kadar rendah/sedang yang berlangsung berulang-ulang tidak punya efek terhadap fisiologi tubuh; tetapi ternyata penyelidikan-penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa intoksikasi kronik dapat terjadi dari dapat menimbulkan efek patologik yang cukup gawat. Okh karena itu perhatian terhadap efek CO kadar rendah menjadi semakin besar, lebih-lebih setelah diketahui bahwa : Merokok dapat menaikkan kadar COHb darah (Russell et al). Kadar-kadar COHb dapat mencapai 6-9,6 % pada perokok-perokok yang berada dalam ruangan yang mengandung CO 38 ppm sedang pada bukan perokok kenaikannya hanya sebesar 1,6-2,6%.
Orang yang berada di jalan jalan yang penuh dengan kenda-raan bermotor juga mempunyai kadar COHb yang meningkat. Jones et al (1972) menyelidiki kadar COHb dalam darah sopir-sopir taxi di London, ia menemukan bahwa pada sopir-sopir taxi yang bukan perokok kadar COHb 1,4-3,0 % sedang pada sopir-sopir taxi yang perokok kadarnya bisa mencapai 20 %. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di jalan-jalan umum, serta tumbuhnya industrialisasi di negara kita, masalah ini akan lebih sering kita jumpai di masa-masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Karbon monoksida, rumus kimia CO, adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, dan tak berasa. Ia terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu atom oksigen. Dalam ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan oksigen.
Karbon monoksida dihasilkan dari pembakaran tak sempurna dari senyawa karbon, sering terjadi pada mesin pembakaran dalam. Karbon monoksida terbentuk apabila terdapat kekurangan oksigen dalam proses pembakaran. Karbon dioksida mudah terbakar dan menghasilkan lidah api berwarna biru, menghasilkan karbon dioksida. Walaupun ia bersifat racun, CO memainkan peran yang penting dalam teknologi modern, yakni merupakan prekursor banyak senyawa karbon.
Karbon monoksida merupakan senyawa yang sangat penting, sehingga banyak metode yang telah dikembangkan untuk produksinya.1
Gas produser dibentuk dari pembakaran karbon di oksigen pada temperatur tinggi ketika terdapat karbon yang berlebih. Dalam sebuah oven, udara dialirkan melalui kokas. CO2 yang pertama kali dihasilkan akan mengalami kesetimbangan dengan karbon panas, menghasilkan CO. Reaksi O2 dengan karbon membentuk CO disebut sebagai kesetimbangan Boudouard.2

B. Sumber CO
Karbon monoksida diproduksi di alam dari :
a) Sumber-sumber alami yaitu : gunung berapi, kebakaran hutan, sumber endogen berupa penghancuran hemoglobin dalam badan yang menghasilkan CO ± 0,4 ml per jam, yang menyebabkan darah akan mempunyai kadar normal COHh 0,5--0,8%.
b) Sumber CO terbesar dalam alam ini adalah yang berasal dari man made CO sebagai hasil proses tehnologi. Tiap tahun manusia menghasilkan kira-kira 250 juta ton man made CO sebagai hasil pembakaran tidak sempurna dari bahan-bahan organik seperti : minyak bumi, kayu, gas alam maupun gas buatan, bahan peledak, batu bara.3
C. Etiologi
Efek toksik dari karbon monoksida disebabkan pengikatannya oleh hemoglobin, dengan membentuk kompleks carboxyhemoglobin. Dalam bentuk baru ini, hemoglobin tidak dapat lagi melakukan fungsinya untuk transportasi oksigen kejaringan-jaringan tubuh. (Hemoglobin dapat mengikat molekul CO sama banyak seperti pada pengikatan oksigen. Kedua gas ini diikat pada gugus yang sama dalam molekul hemoglobin, bereaksi dengan besi dalam gugus porphyria).4
Dengan cara yang sama, selain pada hemoglobin, CO juga dapat bereaksi dengan myoglobin, cytochrome oxidase serta eytochrome P-450. Meskipun kecepatan pengikatan CO oleh hemoglobin adalah 1/10 x kecepatan oksigen, kecepatan dissosiasinya adalah 1/2100 x kecepatan oksigen. Oleh karena itu afinitet hemoglobin terhadap CO lebih besar dari pada terhadap oksigen, yaitu 1/10 x 2100 = 210 x afinitet terhadap oksigen. Bila seorang menghirup gas CO ini, maka dengan cepat CO ini pindah dari plasma ke sel-sel darah merah untuk bergabung dengan hemoglobin. Pembentukan COHb yang cepat dan terus menerus ini, menyebabkan Pco plasma tetap rendah, sehingga CO dari alveolus selalu mengalir dengan cepat kedalam darah di paru-paru.
Seperti halnya dengan Hb02, CO Hb ini selalu berada dalam keadaaan dissosiasi sebagai berikut :
HbCO + O2 HbO2 + CO
Jika expose dengan CO ini terhenti maka COHb akan diuraikan menjadi Hb02 dan CO kembali dan selanjutnya CO ini akan larut dalam plasma dan dikeluarkan melalui paru-paru. Reaksi toksik yang timbul setelah menghirup CO pada dasarnya disebabkan oleh hypoxia jaringan karena darah tak cukup mengandung 02. Hal ini pertama kali dibuktikan oleh Haldane pada tahun 1895. Jika seekor tikus diberikan 02 dengan tekanan dua atmosfir, maka darah akan mengandung cukup banyak 02 yang larut dalam plasma untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sel-sel jaringan. Dalam keadaan ini seluruh hemoglobin dapat berada dalam bentuk COHb tanpa tikus-tikus ini menunjukkan gejala-gejala intoksikasi. Oleh Haldane hal ini disimpulkan bahwa CO sendiri sebenarnya tidak toksik untuk sel-sel jaringan.5
D. Ekskresi
CO tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh kecuali jika ada pemafasan aktif. Waktu rata-rata yang diperlukan oleh seorang yang beristirahat untuk mengeluarkan CO sampai kadarnya menjadi ½ konsentrasi semula (half life), adalah 250 menit. Jika sebagai ganti udara dipakai oksigen maka keseimbangan HbO2 + CO HbCO + O2 akan bergeser kekiri, sehingga waktu yang diperlukan untuk membuat kadar COHb menjadi dari semula hanya berlangsung 40 menit. Jika pada 02 ini ditambah CO2 5%, waktu yang dibutuhkan akan berkurang lagi menjadi 13,7 menit. Pemberian CO2 5% ini akan menyebabkan terjadinya hyperventilasi serta penurunan pH darah yang akan mempercepat pembuangan CO ini. Pemberian 02 dengan tekanan 2 atmosfir akan lebih mempercepat lagi eliminasi COHb menjadi hanya 7,6 menit.6
E. Pato¬fisiologi
Intoksikasi akut
Perubahan patologik yang terjadi pada intoksikasi akut CO disebabkan oleh hypoxia. Oleh karena itu, beratnya kelainan ditentukan oleh lama serta derajat hypoxia ini. Yang terkena terutama ialah jaringan yaang paling peka terhadap pengurangan 02, seperti : susunan saraf pusat, jantung dan sebagainya. Finck(1966) mempelajari perubahan-perubahan patologik pada 351 kasus kematian yang disebabkan intoksikasi CO. Didapatkan tiga kelainan patologik, yaitu :
(1) Edema/kongesti pada : paru-paru (66 %), otak (25%), jantung ( 2% ), viscera (7%).
(2) Petechiae pada : otak (10%), jantung (33%).
(3) Hemorrhagi pada : paru-paru (7%), pleura (1%), otak (2%)7
Susunan saraf pusat.
Pada kasus-kasus fatal yang akut, ditemukan kongesti serta hemorrhagi pada semua organ. Sedang pada kasus-kasus fatal subakut, lesi yang ditimbulkan sebanding dengan lamanya pingsan yang timbul akibat hypoxia. Bokonjic (1963) mengemukakan pada kasus-kasus intoksikasi CO, batas maksimum lamanya pingsan agar tidak meninggalkan cacat neurologik adalah 21 jam untuk penderita dibawah umur 48 tahun dan 11 jam untuk penderita diatas umur 48 tahun. Bila pingsan berlangsung (i) lebih dari 15 jam pada penderita umur diatas 48 tahun atau (ii) lebih dari 64 jam pada penderita umur dibawah 48 tahun, maka akan terjadi kerusakan-rusakan permanen dan irreversible pada susunan saraf pusat dan fungsi mental tidak akan kembali sempuma lagi. Pemeriksaan Histologis memperlihatkan demyelinisasi yang luas pada substansia alba dan nekrosis bilateral di globus pallidus.
WH Schulte (16) menyelidiki efek intoksikasi CO pada susunan saraf pusat terhadap 49 orang sehat, berumur antara 25 th ¬ 49 th, yang diexpose dengan 100 ppm CO. Kesimpulan yang didapat adalah CO dapat menyebabkan gangguan fungsi pada pusat-pusat luhur disusunan saraf pusat, terutama pada daerah-daerah diotak yang mengontrol kemampuan cognitive dan psikomotor. Gangguan ini dapat terjadi pada kadar COHb kurang dari 5%.
Jantung.
Jantung merupakan organ kedua yang peka terhadap hypoxia. Sebagian kasus menunjukkan tanda-tanda klinis terkenanya myocardium, tetapi sebagian yang lain tidakmemperlihatkan gejala-gejala ini. Kelainan pada EKG ditemukan pada sebagian besar (hampir semua) kasus.
Lain-lain. Dapat timbul eritema, edema dan blister/bulla pada kulit. P02 merendah, terjadi asidosis metabolik Hematokrit meninggi.
Intoksikasi kronik.
Yang dimaksud disini ialah intoksikasi yang terjadi setelah expose berulang-ulang dengan CO yang berkadar rendah atau sedang. Perubahan-perubahan patofisiologi yang terjadi :
Pembuluh darah. CO mempunyai efek merusak dinding arteri sehingga menyebabkan permeabilitas terhadap macam-macam komponen plasma meningkat. Pemberian cholesterol pada saat ini akan menyebabkan penimbunan lemak pada pembuluh darah. Astrup (2) menemukan kadar COHb yang tinggi pada perokok-perokok berat, terutama pada perokok yang menderita arteriosclerosis perifer.
Ginjal GFR bertambah sampai ± 50%. Ini mungkin disebabkan oleh bertambahnya permeabilitas vaskuler.
Darah.- Akibat hypoxia yang kronik, terjadi aklimatisasi. Eritrosit bertambah jumlahnya (polisitemia).
Jantung.
Afinitet CO terhadap myoglobin lebih besar daripada terhadap hemoglobin. Ini dapat mengganggu fungsi transport 02 dari myoglobin, serta dapat memperberat ischemia myocardium.
Gejala
Gejala-gejala yang timbul adalah gejala-gejala yang disebabkan oleh hypoxia. Gejala-gejala ini sebanding dengan kadar COHb dalam darah. Hubungan antara gejala-gejala dengan COHb darah dapat dilihat pada tabel I.
% COHb Gejala-gejala
0¬10 tidak ada keluhan maupun gejala.
10¬20 rasa berat dikepala, sedikit sakit kepala, pelebaran pembuluh darah kulit.
20¬30 sakit kepala menusuk-nusuk pada pelipis
30¬40 sakit kepala hebat, lemah, dizziness, pandangan jadi kabur, nausea, muntah-muntah.
40¬50 seperti diatas, syncope, nadi dan pernafasan menjadi cepat.
50¬60 syncope, nadi dan pernafasan menjadi cepat, coma, kejang yang intermitten.
60¬7- coma, kejang yang intermitten, depressi jantung dan pernafasan.
70¬80 nadi lemah, pernafasan lambat, kegagalan pernafasan dan meninggal dalam beberapa jam.
80¬90 meninggal dalam waktu kurang dari satu jam.
90 keatas meninggal dalam beberapa menit.-

Beratnya gejala ditentukan pula oleh kebutuhan jaringan akan 02. Nadi baru terpengaruh jika kadar COHb telah mencapai 50%. Gejala-gejala lain yang tidak khas adalah kelainan pada kulit, banyak berkeringat, pembesaran hepar, tendens bleeding suhu badan meningkat, lekositosis, serta albuminuria dan glycosuria.8
F. Diagnostik
Diagnostik ditegakkan dengan :(i) ditemukannya kadar COHb yang meninggi dalam darah. Carboxyhemoglobin berwarna merah terang (bright red) yang akan terlihat pada kuku-kuku jari, mukosa, dan kulit, (ii) ditemukannya tanda-tanda klinis seperti yang tersebut diatas.
G. Penatalaksanaan
Prinsip pada pengobatan intoksikasi CO ialah mengembalikan keadaan agar supply 02 untuk sel-sel jaringan kembali menjadi normal dan cukup, seperti semula. Tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
(1) Yang penting adalah memindahkan penderita kedalam ruangan dengan udara segar.
(2) Jika terjadi penghentian pernafasan, maka dilakukan pernafasan buatan secepatnya.
(3) Tindakan berikut adalah pemberian oksigen, yang dilakukan dengan alat-alat yang dapat mencegah terhisapnya kembali CO kedalam badan. Pemberian ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
Oksigen diberikan bersama-sama dengan 5 7% CO2 .
Dengan kombinasi ini kadar COHb dapat diturunkan lebih cepat. Dalam konsentrasi ini CO2 tidak menimbulkan efek yang membahayakan
Pada intoksikasi CO berat.
Yang disertai dengan hilangnya kesadaran, pengobatan terbaik adalah denganpemberian oksigen yang bertekanan dua atmosfir. Penggunaan oksigen bertekanan tinggi ini dengan cepat. akan mengganti CO dalam molekul Hb. Selain itu oksigen ini akan larut dalam plasma dalam jumlah banyak dan dapat dengan segera memberikan efeknya pada sel-sel jaringan. Oksigen ini akan menyebabkan keseimbangan reaksi :
HbO2 + CO HbCO + O2
bergeser kekiri. CO akan terlepas dan larut kedalam plasma dan selanjutnya dikeluarkan melalui pernafasan. Dengan memperpendek keadaan hypoxia, kita akan dapat membatasi semaximal mungkin kerusakan jaringan. Penambahan tekanan oksigen lebih dari dua atmosfir akan menimbulkan risiko mempercepat terjadinya intoksikasi oksigen. Untuk pemberian hyperbaric oxygen therapy dipakai cara yang dilakukan oleh
Ogawa yaitu : diberikan tiga kali; tiap kali diberikan oksigen murni dengan tekanan dua atmosfir selama kira-kira satu jam, satu kali sehari. Pengobatan dengan hyperbaric oxygenation ini, yang mulai dikembangkan oleh Smith Sharp, pada tahun 1960, kini merupakan therapy of choice untuk pengobatan intoksikasi CO berat. Cara ini dapat menghilangkan CO dari darah dan jaringan dengan cepat tanpa tergantung pada mekanisme transport hemoglobin.
(4) Selain ini hendaknya juga dilakukan usaha yang bersifat supportif yaitu : Penderita diusahakan agar selalu panas dengan menggunakan selimut dan sebagainya. Agar sama sekali tidak melakukan gerakan/aktifitas fisik, supaya ke butuhan oksigen oleh jaringan jadi seminimal mungkin.
(5) Transfusi darah juga dapat membantu. Tetapi cara ini sekarang banyak disanggah oleh karena darah baru ini, yang relatif sedikit, dalam waktu singkat akan dipenuhi oleh CO yang berada di jaringan-jaringan.
(6) Tindakan tambahan lain yang pernah dianjurkan adalah : hypothermi yaitu dengan mendinginkan seluruh badan, maka kebutuhan sel-sel jaringan akan oksigen menurun, sehingga sequellae neurologis yang timbul dapat dikurangi seminimal mungkin.
(7) Juga dapat digunakan succinic acid, untuk menstimulir pernafasan.9










BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karbon monoksida (CO) adalah gas tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak mengiritasi, mudah terbakar dan sangat beracuin. Gas Karbon monoksida merupakan bahan yang umum ditemui di industri. Gas ini merupakan hasil pembakaran tidak sempurna dari kendaraan bermotor, alat pemanas, peralatan yang menggunakan bahan api berasaskan karbon dan nyala api (seperti tungku kayu), asap dari kereta api, pembakaran gas, asap tembakau. Namun sumber yang paling umum berupa residu pembakaran mesin. Banyak pembakaran yang menggunakan bahan bakar seperti alat pemanas dengan menggunakan minyak tanah, gas, kayu dan arang yaitu kompor, pemanas air, alat pembuangan hasil pembakaran dan lain-lain yang dapat menghasilkan karbon monoksida. Pembuangan asap mobil mengandung 9% karbon monoksida. Pada daerah yang macet tingkat bahayanya cukup tinggi terhadap kasus keracunan. Karbon monoksida tidak mengiritasi tetapi sangat berbahaya (beracun) maka gas CO dijuluki sebagai “silent killer” (pembunuh diam-diam).















DAFTAR PUSTAKA

1. ANDERSON et al : Myocardial toxicity from carbon monoxide poisoning. Annals of int med 1967.
2. ASTRUP, POUL : Some physiological pathological effects of mo- derate carbon monoxide exposure. British med Journal 4 : 447¬452 1972.
3. AYRES et al : Carboxyhaemoglobin : Hemodynamic respiratory responses to small concentration. Science 149 : 9 July 1965
4. BURNS et al : A specific carrier for 02 CO in lung : Effects of volatile anesthetic on gas transfer and drug metabolism. Chest 69 : 2 Febr, 1976.
5. FAIRHALL : Industrial toxicology. lst ed, pp 246¬248
6. GOODMAN,.GILMAN : The pharmacological basis of therapeutic 4th ed, pp 930-934,1970,
7. HENDERSON, HAGGARD : Noxious gases and the principles of respiration. 2nd ed. pp 159¬172.
8. HAMILTON, HARDY : Industrial toxicology 2nd ed. pp 219¬248
9. HUSAERI, JUSUF A, AMIRUDDIN A : Pengaruh pencemaran udara pada pazu. Muktamar IDI Cirebon, 1975.